Ya Allah, segala puji bagi-Mu, penguasa langit dan bumi, Tuhan Semesta Alam, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ya Allah, anugerahilah aku kesabaran, dan lapangkanlah dadaku, dan jadikanlah aku senantiasa bersyukur kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu.
Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, tunjukilah aku, tempatkanlah aku di jalan yang lurus, jauhkanlah perkataanku dari hawa nafsu dan jauhkanlah aku dari kesesatan.
Ya Allah, tetapkanlah iman di dadaku, tetapkanlah Islam sebagai agamaku, jadikanlah aku orang yang berserah diri kepada-Mu dan dekatkanlah aku pada-Mu.
Ya Allah, sayangilah aku, peliharalah aku, terimalah ibadahku, jauhkanlah aku dari siksa neraka dan masukkanlah aku ke dalam Surga-Mu.
Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan baik, dan baikkanlah keadaanku di Hari Pembalasan.
Tidak ada Tuhan selain Engkau dan Nabi Muhammad adalah utusan Engkau. Dari-Mu kami berasal dan kepada-Mu kami kembali.
Kabulkanlah ya Allah.
Arise
Minggu, 02 Juni 2019
Sabtu, 10 November 2018
Terbalik
Permasalahkan yang tidak harus dikerjakan,
jangan hiraukan yang harus dikerjakan.
Kerjakan ini jika ingin dihargai.Utamakan membaca, bukan mengerti.
Utamakan hafal, bukan patuh.
Kerjakan ini jika ingin dikatakan shalih.
Jumat, 09 November 2018
Lihat
Oh negeriku kita mau kemana,
yang mudah disulitkan,
yang sederhana dirumitkan,
yang disulitkan juga
tidak berguna,
yang dirumitkan juga
tidak berguna,
kekeliruan di dalam kekeliruan,
terlalu banyak hal yang
tidak berguna,
dan kita menghabiskan segalanya untuk hal yang tidak berguna.
Rabu, 07 November 2018
Dehumanisasi di "Alam Pendidikan" Kita
Pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran dan jasmani agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan yang selaras dengan
alam dan masyarakatnya. Pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir
untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam dan
lingkungannya. Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu Berpikir dan Merasa.
Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu, maka di dalamnya tidak saja
proses berpikir yang ambil bagian, tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan
dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain. Inti dari pendidikan
adalah “membebaskan manusia” atau “memanusiakan manusia”. Pendidikan tidak
hanya sekedar memperhatikan aspek berpikir saja tapi cakupannya harus lebih
luas.
Apakah kita memperhatikan permasalahan seperti ini? Inilah
salah satu kesalahan terbesar metode pendidikan yang dikembangkan di Negara ini.
Kita tidak memperhatikan aspek merasa, sehingga kita hanya tercetak sebagai
generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang
dibutuhkan oleh Bangsa. Belajar agar pintar, itulah makna pendidikan yang biasanya selalu
ditekankan kepada anak didik, kita menanamkan ajaran bahwa pendidikan merupakan
sarana untuk menjadi manusia-manusia yang intelek, padahal
untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia tidak hanya mengedepankan otak
saja, tetapi juga harus bisa membangun sisi kemanusiaannya.
Pendidikan hendaknya
tidak membunuh kreatifitas berpikir dan berkarya, serta tidak hanya menciptakan
pekerja. Saat ini kurikulum yang ada umumnya membuat peserta didik menjadi
pintar, namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula
karena paradigma kita yang mengarahkan masyarakat pada penciptaan tenaga kerja,
sehingga banyak orang berpendapat bahwa dengan sekolah yang pintar dan
mempunyai nilai akademis yang bagus maka masa depan kamu akan terjamin, sebab
dengan nilai akademis yang bagus maka kamu akan mudah diterima bekerja di
kantor A atau B, pola pikir inilah yang
diwariskan secara turun-temurun bahwa tolak ukur sukses adalah setelah lulus
sekolah menjadi Pegawai Negeri atau Swasta.
Sistem
pendidikan dimana guru mentransfer bahan ajar kepada peserta didik dan
sewaktu-waktu jika itu diperlukan maka akan diambil dan dipergunakan membuat
peserta didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba untuk
berpikir lebih jauh tentang manfaat yang diterimanya, atau minimal terjadi
proses seleksi kritis tentang bahan ajar yang ia terima. Saat ini terjadi
penyempitan makna dari pendidikan itu sendiri ketika istilah-istilah industri
mulai meracuni, ditandai dengan bergantinya manusia menjadi Sumber Daya Manusia
(SDM).
Praktik nyata
di dunia pendidikan tak jarang memacu siswa atau mahasiswa hanya untuk sekadar
dapat nilai bagus, lulus, kerja dan kaya tanpa mempedulikan potensi lain yang ada
dalam dirinya. Konsep yang merimba ini hanya akan menguntungkan mereka yang
benar-benar kompetitif dan pintar, lalu melumat habis-habisan mereka yang
sebenarnya cerdas, tapi tidak ditangani dengan sistem yang baik, sehingga tidak
pernah berpikir kreatif karena hasil karyanya “tidak sesuai” dengan yang diinginkan
dosen atau institusi. Bagi sekelompok masyarakat pendidik
meyakini bahwa hakikat pendidikan adalah demi untuk menjaga nilai-nilai yang
ada serta mempertahankan nilai dan tradisi yang sudah mereka anut, tanpa pernah mengerti dan
memahami makna pendidikan yang sesungguhnya. Siswa secara tidak sadar telah
dipaksa untuk berpikir dengan logika yang sama (produktivitas, efisiensi dsb).
Bukan tidak mustahil kita adalah
generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman, sekolah
yang seharusnya menyenangkan malah menjadi momok, pelajaran adalah hantu yang
mengerikan, guru adalah algojo-algojo yang kehadirannya meresahkan, ujian bagai
melintasi jembatan neraka pembantaian karena masa depan siswa akan ditentukan
oleh deretan nilai yang harus diraih dalam beberapa menit yang mendebarkan. Hal
ini dapat mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat, padahal sekolah sebenarnya
bukanlah ruang-ruang yang memenjara, siswa tidak pernah berada di sana karena
terpaksa, dan proses belajar menjadi proses yang menyenangkan, murah, bermakna
dan tidak pernah membosankan apalagi memberatkan.
Dunia
pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa hendaknya
dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk
mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas
yang dimiliki. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan
di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap
lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan. Pendidikan
mempersiapkan generasi muda untuk mampu menjalankan kehidupannya, bukan hanya
sekadar mempersiapkan mereka dalam hal pekerjaan. Di sini pendidikan ditantang
untuk mengerahkan anak didik ke arah hidup yang bermakna, untuk itu, pendidikan
hendaknya mampu mengajarkan kearifan, yang tampak dalam kepiawaian anak didik
untuk memilih, kearifan itu tidak hanya mengenai individu, tetapi juga mengenai
Bangsa.
Sistem
pendidikan hendaknya tidak menjauhkan manusia dari fitrahnya, melainkan agar siswa
merdeka dan sadar akan pilihan-pilihan hidupnya, bukan sebaliknya, malah mengasingkan
mereka dari realitas yang ada disekelilingnya. Siswa jangan dianggap sebagai
“objek” pendidikan, yang karenanya harus mau dijejali dengan semua hafalan dan
informasi yang diberikan oleh guru, tanpa diberikan kesempatan untuk bisa
berpendapat sendiri, apalagi melakukan pemaknaan-pemaknaan, bahwa belajar
seharusnya merupakan proses yang integral dan maknawi.
Dari hal inilah muncul pandangan bahwa hakikat pendidikan
adalah sebagai strategi Humanisasi, untuk membangkitkan kesadaran kritis
kemanusiaan. Selanjutnya, pendidikan identik dengan proses “pembebasan manusia”,
hal ini berangkat dari pandangan mendalam bahwa manusia dalam sistem dan
struktur sosial yang ada telah mengalami proses Dehumanisasi (Pembunuhan/Penghilangan
nilai-nilai kemanusiaan).
Pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai sekolah
belaka, dengan membatasi pendidikan sebagai sekolah maka pendidikan terasing
dari kehidupan yang nyata. Pendidikan
tidak sama dengan sekolah, cakupannya luas tak terbatas. Sekolah hanya satu
bagian kecil dari sarana pendidikan, oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya
terpaku pada transfer materi dari guru ke murid, pendidikan harus utuh dan
menyeluruh, meliputi semua aspek dalam kehidupan seseorang, berorientasi pada
terbentuknya individu-individu yang memiliki karakter/jati diri (kepribadian)
yang syaamil (menyeluruh/utuh).
Sekolah tidak
seharusnya memisahkan siswa dari lingkungan dimana ia hidup. Seperti apa yang
dikatakan oleh Paulo Freire, bahwa pendidikan seharusnya bersifat
emansipatoris, dimana siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
dengan tanpa tercerabut dari realitasnya sendiri, sehingga mereka tidak
terjebak dalam “kesadaran naif” (dimana orang menerima begitu saja interpretasi
atas realitas tanpa mampu melakukan refleksi kritis akan apa yang terjadi di
sekitarnya). Seperti umumnya anak-anak selama ini bisa menghafal jenis tumbuhan
dan binatang sampai nama latinnya, tapi apakah ia mengerti kenyataan tentang
musnahnya biodiversity, apa
penyebabnya dan bagaimana seharusnya ia mengambil peran untuk mengatasinya,
minimal di lingkup masyarakatnya sendiri.
Ilmu pengetahuan
berkembang seiring dengan kemampuan manusia untuk mengolah alam, ilmu pengetahuan
mengembangkan kemampuan manusia dalam mengolah alam untuk keuntungan yang banyak.
Jauh sebelum zaman sekarang
ini para penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya.
Sumber : www.google.com
Sumber : www.google.com
Menunggu
Dunia, kulihat kedepan terasa begitu lama,
kulihat kebelakang terasa begitu cepat.
Adakah pagi yang damai dan malam yang panjang?
Aku berjalan terpaksa
sambil menunggu datang akhirnya.
Rindu Damai
Aku ingin menghela nafas dengan sentosa,
duduk nenikmati pagi dengan tentram,
memandangi bintang-bintang tanpa esok pagi yang kelam.
Lelah, ingin melayang lelah ke atas malam
untuk sejenak tenang menjauhi bising.
Aku rindu kedamaian.
Aku rindu kedamaian.
Aku Suka
Aku suka yang dunia tidak suka,
dunia suka yang aku tidak suka,
sehingga dunia tidak menyukaiku dan aku tidak
menyukai dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)