Minggu, 02 Juni 2019

Do'aku

Ya Allah, segala puji bagi-Mu, penguasa langit dan bumi, Tuhan Semesta Alam, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ya Allah, anugerahilah aku kesabaran, dan lapangkanlah dadaku, dan jadikanlah aku senantiasa bersyukur kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu.

Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, tunjukilah aku, tempatkanlah aku di jalan yang lurus, jauhkanlah perkataanku dari hawa nafsu dan jauhkanlah aku dari kesesatan.

Ya Allah, tetapkanlah iman di dadaku, tetapkanlah Islam sebagai agamaku, jadikanlah aku orang yang berserah diri kepada-Mu dan dekatkanlah aku pada-Mu.

Ya Allah, sayangilah aku, peliharalah aku, terimalah ibadahku, jauhkanlah aku dari siksa neraka dan masukkanlah aku ke dalam Surga-Mu.

Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan baik, dan baikkanlah keadaanku di Hari Pembalasan.

Tidak ada Tuhan selain Engkau dan Nabi Muhammad adalah utusan Engkau. Dari-Mu kami berasal dan kepada-Mu kami kembali.

Kabulkanlah ya Allah.


Sabtu, 10 November 2018

Terbalik

Permasalahkan yang tidak harus dikerjakan,
jangan hiraukan yang harus dikerjakan.
Kerjakan ini jika ingin dihargai.

Utamakan membaca, bukan mengerti.
Utamakan hafal, bukan patuh.
Kerjakan ini jika ingin dikatakan shalih.

Jumat, 09 November 2018

Lihat

Oh negeriku kita mau kemana,
yang mudah disulitkan,
yang sederhana dirumitkan,
yang disulitkan juga tidak berguna,
yang dirumitkan juga tidak berguna,
kekeliruan di dalam kekeliruan,
terlalu banyak hal yang tidak berguna,
dan kita menghabiskan segalanya untuk hal yang tidak berguna. 

Rabu, 07 November 2018

Dehumanisasi di "Alam Pendidikan" Kita

Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran dan jasmani agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam dan lingkungannya. Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu Berpikir dan Merasa. Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu, maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian, tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain. Inti dari pendidikan adalah “membebaskan manusia” atau “memanusiakan manusia”. Pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek berpikir saja tapi cakupannya harus lebih luas.

Apakah kita memperhatikan permasalahan seperti ini? Inilah salah satu kesalahan terbesar metode pendidikan yang dikembangkan di Negara ini. Kita tidak memperhatikan aspek merasa, sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh Bangsa. Belajar agar pintar, itulah makna pendidikan yang biasanya selalu ditekankan kepada anak didik, kita menanamkan ajaran bahwa pendidikan merupakan sarana untuk menjadi manusia-manusia yang intelek, padahal untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia tidak hanya mengedepankan otak saja, tetapi juga harus bisa membangun sisi kemanusiaannya.

Pendidikan hendaknya tidak membunuh kreatifitas berpikir dan berkarya, serta tidak hanya menciptakan pekerja. Saat ini kurikulum yang ada umumnya membuat peserta didik menjadi pintar, namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma kita yang mengarahkan masyarakat pada penciptaan tenaga kerja, sehingga banyak orang berpendapat bahwa dengan sekolah yang pintar dan mempunyai nilai akademis yang bagus maka masa depan kamu akan terjamin, sebab dengan nilai akademis yang bagus maka kamu akan mudah diterima bekerja di kantor A atau B, pola pikir inilah yang diwariskan secara turun-temurun bahwa tolak ukur sukses adalah setelah lulus sekolah menjadi Pegawai Negeri atau Swasta.

Sistem pendidikan dimana guru mentransfer bahan ajar kepada peserta didik dan sewaktu-waktu jika itu diperlukan maka akan diambil dan dipergunakan membuat peserta didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba untuk berpikir lebih jauh tentang manfaat yang diterimanya, atau minimal terjadi proses seleksi kritis tentang bahan ajar yang ia terima. Saat ini terjadi penyempitan makna dari pendidikan itu sendiri ketika istilah-istilah industri mulai meracuni, ditandai dengan bergantinya manusia menjadi Sumber Daya Manusia (SDM).

Praktik nyata di dunia pendidikan tak jarang memacu siswa atau mahasiswa hanya untuk sekadar dapat nilai bagus, lulus, kerja dan kaya tanpa mempedulikan potensi lain yang ada dalam dirinya. Konsep yang merimba ini hanya akan menguntungkan mereka yang benar-benar kompetitif dan pintar, lalu melumat habis-habisan mereka yang sebenarnya cerdas, tapi tidak ditangani dengan sistem yang baik, sehingga tidak pernah berpikir kreatif karena hasil karyanya “tidak sesuai” dengan yang diinginkan dosen atau institusi. Bagi sekelompok masyarakat pendidik meyakini bahwa hakikat pendidikan adalah demi untuk menjaga nilai-nilai yang ada serta mempertahankan nilai dan tradisi yang sudah mereka anut, tanpa pernah mengerti dan memahami makna pendidikan yang sesungguhnya. Siswa secara tidak sadar telah dipaksa untuk berpikir dengan logika yang sama (produktivitas, efisiensi dsb).

Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman, sekolah yang seharusnya menyenangkan malah menjadi momok, pelajaran adalah hantu yang mengerikan, guru adalah algojo-algojo yang kehadirannya meresahkan, ujian bagai melintasi jembatan neraka pembantaian karena masa depan siswa akan ditentukan oleh deretan nilai yang harus diraih dalam beberapa menit yang mendebarkan. Hal ini dapat mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat, padahal sekolah sebenarnya bukanlah ruang-ruang yang memenjara, siswa tidak pernah berada di sana karena terpaksa, dan proses belajar menjadi proses yang menyenangkan, murah, bermakna dan tidak pernah membosankan apalagi memberatkan.

Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa hendaknya dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan. Pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk mampu menjalankan kehidupannya, bukan hanya sekadar mempersiapkan mereka dalam hal pekerjaan. Di sini pendidikan ditantang untuk mengerahkan anak didik ke arah hidup yang bermakna, untuk itu, pendidikan hendaknya mampu mengajarkan kearifan, yang tampak dalam kepiawaian anak didik untuk memilih, kearifan itu tidak hanya mengenai individu, tetapi juga mengenai Bangsa.

Sistem pendidikan hendaknya tidak menjauhkan manusia dari fitrahnya, melainkan agar siswa merdeka dan sadar akan pilihan-pilihan hidupnya, bukan sebaliknya, malah mengasingkan mereka dari realitas yang ada disekelilingnya. Siswa jangan dianggap sebagai “objek” pendidikan, yang karenanya harus mau dijejali dengan semua hafalan dan informasi yang diberikan oleh guru, tanpa diberikan kesempatan untuk bisa berpendapat sendiri, apalagi melakukan pemaknaan-pemaknaan, bahwa belajar seharusnya merupakan proses yang integral dan maknawi.

Dari hal inilah muncul pandangan bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai strategi Humanisasi, untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanusiaan. Selanjutnya, pendidikan identik dengan proses “pembebasan manusia”, hal ini berangkat dari pandangan mendalam bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah mengalami proses Dehumanisasi (Pembunuhan/Penghilangan nilai-nilai kemanusiaan).

Pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai sekolah belaka, dengan membatasi pendidikan sebagai sekolah maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata. Pendidikan tidak sama dengan sekolah, cakupannya luas tak terbatas. Sekolah hanya satu bagian kecil dari sarana pendidikan, oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya terpaku pada transfer materi dari guru ke murid, pendidikan harus utuh dan menyeluruh, meliputi semua aspek dalam kehidupan seseorang, berorientasi pada terbentuknya individu-individu yang memiliki karakter/jati diri (kepribadian) yang syaamil (menyeluruh/utuh).

Sekolah tidak seharusnya memisahkan siswa dari lingkungan dimana ia hidup. Seperti apa yang dikatakan oleh Paulo Freire, bahwa pendidikan seharusnya bersifat emansipatoris, dimana siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran dengan tanpa tercerabut dari realitasnya sendiri, sehingga mereka tidak terjebak dalam “kesadaran naif” (dimana orang menerima begitu saja interpretasi atas realitas tanpa mampu melakukan refleksi kritis akan apa yang terjadi di sekitarnya). Seperti umumnya anak-anak selama ini bisa menghafal jenis tumbuhan dan binatang sampai nama latinnya, tapi apakah ia mengerti kenyataan tentang musnahnya biodiversity, apa penyebabnya dan bagaimana seharusnya ia mengambil peran untuk mengatasinya, minimal di lingkup masyarakatnya sendiri. 

Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan kemampuan manusia untuk mengolah alam, ilmu pengetahuan mengembangkan kemampuan manusia dalam mengolah alam untuk keuntungan yang banyak. Jauh sebelum zaman sekarang ini para penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya.

Sumber : www.google.com
 


Menunggu


Dunia, kulihat kedepan terasa begitu lama,
kulihat kebelakang terasa begitu cepat.
Adakah pagi yang damai dan malam yang panjang? 
Aku berjalan terpaksa sambil menunggu datang akhirnya.


Rindu Damai


Aku ingin menghela nafas dengan sentosa,
duduk nenikmati pagi dengan tentram,
memandangi bintang-bintang tanpa esok pagi yang kelam.
Lelah, ingin melayang lelah ke atas malam
untuk sejenak tenang menjauhi bising.
Aku rindu kedamaian.


Aku Suka


Aku suka yang dunia tidak suka,
dunia suka yang aku tidak suka,
sehingga dunia tidak menyukaiku dan aku tidak menyukai dunia.